Beranda | Artikel
Marah, Berdampak Buruk Yang Parah
Senin, 16 Maret 2015

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, maka sesungguhnya ada seorang lelaki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berilah aku wasiat”. Maka beliau bersabda, “Janganlah engkau marah”. Lelaki itu mengulang-ulang permintaannya, namun beliau tetap bersabda, “Janganlah engkau marah”. (HR. al-Bukhari no.6116)

Sebuah pesan yang penting, “Jangan marah”!

Imam al-Bukhari rahimahullah meriwayatkan hadits yang berisi wasiat penting bagi segenap umat Islam dalam Shahihnya. Tepatnya, dalam kitab al-Adab bab mewaspadai amarah, dari Sahabat yang memiliki paling banyak hafalan hadits, Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

Ada seorang lelaki datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam untuk meminta dari beliau satu pesan penting. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berpesan kepadanya untuk tidak marah. Sepertinya, orang yang meminta pesan tersebut merasa hanya mendapatkan pesan yang terlalu singkat dan sedikit, maka ia pun mengulang permintaannya kembali dengan harapan memperoleh pesan yang lain. Hanya saja, wasiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. kepada lelaki tersebut tidak lebih dan tidak kurang dari perkataan, “Janganlah engkau marah”.

Apa hikmahnya?

Sebagian Ulama menerangkan bahwa lelaki tersebut sepertinya dikenal suka marah. Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjawab permintaan setiap orang sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berpesan kepadanya dengan pesan tersebut secara khusus, berangkat dari pengetahuan beliau tentang kondisi yang bersangkutan.

Meski demikian, nasehat, wasiat dan pesan singkat ini berlaku bagi orang lain dari umat Islam, sebab setiap orang dituntut untuk tidak marah. Tahu sebabnya?. Sebelum kamu jawab, pernahkah kamu liat wajahmu sendiri ketika marah?. Kalo belum, liat saja raut muka orang lain yang sedang dilanda marah besar. Apakah menarik?. Wajah memerah, urat leher tegang, mata melotot. Wajah akan tampak lebih buruk lagi bila disertai mulut mengumpat, mengeluarkan kata-kata buruk dan nama-nama binatang. Apakah tampak menarik atau menakutkan?. Yang pasti, tidak enak dipandang khan.

Ketika orang telah terjerat emosi kemarahannya, maka banyak kerusakan yang mungkin saja ia perbuat. Sebut saja, dari yang ringan: gelas pecah, menyakiti orang, melukai, putusnya tali silaturahmi, bentrok antar kampung, keluarnya vonis talak (bagi yang sudah nikah), atau hingga yang berat, menghabisi nyawa manusia!!. Bahkan terkadang orang yang marah besar tega menyiksa dan membunuh sesama hanya gara-gara utang uang dengan nominal yang tidak lebih 100 ribu.

Kalo dikaitkan dengan dunia remaja alias dunia anak-anak muda yang masih sekolah maupun kuliah, kemarahan bisa memicu tawuran antar-sekolah, antar-fakultas ataupun antar-kampur. Dan terkadang tawuran pun memakan korban jiwa. Ngeri khan. Kalo tawuran terjadi di jalan umum, maka dampak buruknya bertambah, yaitu mengganggu ketertiban dan mengancam keselamatan masyarakat. Seandainya mereka semua bisa menahan diri dan mengekang emosi sesaatnya, maka hal-hal buruk bisa dihindarkan.

Pesan yang tetap relevan

Di sinilah tampak keharusan seorang mukmin untuk berpikir cerdas, hati-hati dan penuh hikmah. Sebab, di antara sifat kaum mukminin, Allah telah menyebutkannya dalam firmanNya (yang artinya): “dan apabila mereka marah mereka memberi maaf” (QS. Asy-Syura: 37). Allah Ta’ala tidak menyebut mereka itu tidak marah. Namun, Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “dan apabila mereka marah mereka memberi maaf”.

Dengan demikian, pesan dari Nabi shallallahu’alaihi wasallam ini (dan petunjuk-petunjuk beliau lainnya) tetaplah relevan dengan zaman kekinian dan memandu umat menuju kebaikan mereka di dunia dan akhirat. Jadi, kita tidak perlu merasa aneh terhadap pesan Nabi ini dan juga semua arahan beliau yang lain.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menerangkan satu logika yang berbeda dengan pandangan orang pada umumnya tentang manusia yang kuat. Orang kuat, bukanlah orang yang berotot kekar dan dapat mempecundangi lawan-lawannya. Bukan!. Akan tetapi, beliau bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيْدُ بِالصُّرْعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيْدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ

Orang yang kuat bukanlah dengan mengalahkan (yang lain). orang yang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan diri ketika dilanda kemarahan” (HR. al-Bukhari no.6114 dan Muslim no.2609).

“Orang yang kuat, adalah orang yang dapat menguasai diri ketika marah. Orang yang dapat mengendalikan diri dan mengontrolnya saat marah itulah orang yang kuat. Sikap ini termasuk akhlak yang baik. Jika engkau terpicu akan marah, janganlah memuntahkannya. Mohonlah perlindungan kepada Allah dari setan yang terkutuk. Bila engkau sedang berdiri, duduklah, jika engkau (marah) dalam keadaan duduk, maka berbaringlah. Bila amarah masih kuat, ambillah air wudhu agar emosi itu lenyap dari dirimu” (Syaikh al-Utsaimin dalam al-‘Ilmu hlm.270).

Marah terpuji

Jenis marah yang tercela telah diungkap, marah untuk meluapkan emosi pribadi dan keinginan balas dendam yang didorong oleh rasa jengkel terhadap orang lain, tersinggung, tersakiti atau merasa dilecehkan. Sedang marah yang terpuji, dan justru dituntut untuk marah, yaitu marah karena Allah, sebagaimana dipraktekkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Beliau marah ketika larangan-larangan Allah dilanggar dan perintah-perintah Allah diabaikan. Beliau marah karena Allah, bukan untuk membela dirinya atau gara-gara tersinggung. Beliau justru berlapang dada dan memaafkan orang-orang yang menyakiti beliau.
Beliau juga pernah memarahi Usamah bin Zaid radhiyallahu ‘anhuma yang membunuh orang kafir yang telah mengucapkan laa ilaaha illallah dalam suatu peperangan. Namun Usamah tetap membunuhnya karena menurutnya orang kafir itu mengucapkan kalimat thayyibah untuk menyelamatkan diri dari senjata Usamah. (HR. al-Bukhari ).

Demikianlah seorang mukmin, ia mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Tidak marah karena tersinggung, akan tetapi mudah menahan amarah, memaafkan dan berbuat baik kepada pihak yang memicu amarahnya, sesuai dengan firman Allah Ta’ala (yang artinya) : “maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah“ (QS asy-Syura:40).

Orang yang berinteraksi dengan masyarakat, pasti akan menghadapi dari mereka hal-hal yang tidak mengenakkan. Maka, sikap terbaiknya terhadap hal-hal tersebut adalah memaafkan dan mengabaikan sikap mereka saja. Dan hendaknya ia yakin betul kalo dengan maaf, lapang dada dan membalas dengan cara baik itu akan mengubah api permusuhan menjadi persahabatan yang sangat kental.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): “Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. (QS Fushshilat:34).

Memang musti melatih diri

Dengan melihat akibat buruk yang timbul dari emosi marah yang meluap, sementara kita belum memiliki kesabaran dan pengendalian diri yang baik, maka kita musti melatih diri untuk mengontrol amarah kita. Jauhi hal-hal yang memicu api kemarahan, ingat-ingat terus bahwa menahan marah termasuk sifat utama dan karakter orang-orang yang beriman kepada Allah Ta’ala. Semoga bermanfaaat bagi kita semua.

Baca juga: Marah Dalam Islam

Daftar bacaan:

  • Al-Minhatu ar-Rabbaaniyyah fi Syarhi al-Arba’iin an-Nawawiyyah, Syaikh Shalih Al-Fauzan,
  • al-‘Ilmu, Syaikh al-Utsaimin
  • dan lainnya.

Penulis: Ustadz Muhammad Ashim Musthofa, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/24913-marah-berdampak-buruk-yang-parah.html